BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Berbagai
hadis nabi yang termaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya
adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda,perbuatan dan taqrir, dan
atau hal ihwal nabi. Apa yang disaksikan oleh sahabat lalu di sampaikannya
kepada orang lain. Orang lain yang menerima hadis riwayat hadis itu mungkin
berstatus sahabat,tabi’in dan seterusnya.[1]
Dalam
perkembangan dan pertumbuhan hadis itu terdapat berbagai cara,ada yang
mengemukankannya dengan cara menghubungkan dengan masa kehidupan masa
rasulullah, para sahabat, dan tabi’in. ada pula yang membaginya dengan cara
mengemukakan berbagai kegiatan yang berkenaan dengan hadits.[2]
B. Rumusan
Masalah
1. Hadis pada
periode nabi.
2. Hadis para
periode sahabat dan tabi’in.
C. Tujuan
Dengan mengetahui sejarah pramodifikasi hadis ini, kita lebih tahu banyak
mengenai perkembangan hadis pada masa rasulullah, sahabat dan tabi’in. dengan
itu kita bisa mengetahui perjuangan para sahabat rasulullah dalam mengahapal
dan meriwayatkan hadis sehingga sampai kepada kita sekarang ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis pada Periode Nabi
Pada masa kenabian, jumlah hadis yang ditulis oleh para sahabat sangat
sedikit, karena mereka telah menekankan pada penghapalan dan penulisan
ayat-ayat Al Qur’an yang telah
diwahyukan kepada nabi. Dimasa-masa awal nabi sendiri Bahkan melarang para
sahabat untuk menulis hadis. Namun beliau mengizinkan menulis hadis kepada
beberapa orang sahabat tertentu yang memeliki kecakapan dalam hal ini, seperti
abdullah ibn amr ibn ash[3].
Hadis
yang di terima oleh para sahabat cepat tersebar dimasyarakat. Karena, para
sahabat umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi dan kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. Dengan demikian para sahabat nabi yang
kebetulan sibuk tidak sempat menemui nabi,
mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat
bertemu dengan nabi. Disamping itu, kebijaksanaan nabi dalam mengutus para
sahabat keberbagai daerah, baik untuk untuk tugas khusus dakwah maupun untuk
memanggu jabatan, tidak kecil peranannya dalam penyebaran hadis[4].
Jadi, Perhatian sahabat terhadap hadis nabi sangat tinggi terutama diberbagai
majlis nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti Dimesjid, Khalaqah ilmu dan diberbagai tempat yang
di janjikan oleh rasulullah.
Menurut Ahmad Umar Hasyim
(Ulama Azhar Mesir) paling tidak ada tiga faktor penyebab perhatian para
sahabat terhadap hadis atau sunnah rasul yaitu sebagai berikut :[5]
1.
Nabi sebagai
panutan yang baik ( Uswah Hasanah)
bagi umatnya sebagaimana di jelaskan dalam surah al-ahzab (33), 21.:
ôs)©9 tb%x.
öNä3s9
Îû
ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9
tb%x. (#qã_öt
©!$# tPöquø9$#u
tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya :
Sesungguhnya
telah ada pada diri rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) orang
yang mengharapkan (rahmat) allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut allah.
2.
Kandungan
beberapa ayat al qur’an dan hadis rasulullah yang menganjurkan mereka menuntut
ilmu dan mengamalkannya sebagaimana surah al’alaq (96) yang turun pertama kali
ayat 1-5.
3.
Kesiapan
mereka secara fitrah arab yang memililki ingatan yang kuat untuk mengingat
segala hal yang terjadi pada rasulullah.
Di masa rasulullah masih hidup, hadist belum mendapat pelayanan dan
perhatian sepenuhnya seperti al qur’an. Para sahabat terutama yang mempunyai
kecakapan dalam menulis selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk
mengabadikan ayat-ayat al qur’an di atas benda-benda yang dapat ditulisi.
Perlakuan serupa tidak diberikan pada hadits. Para sahabat menyampaikan sesuatu
yang diperoleh dari panca inderanya dari nabi muhammad saw dengan lisan belaka,
karena hal ini di lakukan berdasarkan petunjuk dari nabi, melalui sabda nya :[6]
لاَ تَكْتُبُوْا
عَنىِّ شَيْئاً اِلاَّ الْقُرْاَنَ, وَمَنْ كَتَبَ عَنىِّ شَئْاً غَيْرَ الْقُرْاَنِ,
فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّ ثُوْا عَنىِّ وَلاَ خَرَجَ, وَمَنْ كَذَّبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya :
Janganlah kamu tulis
apa yang telah kamu terima dariku selain al qur’an, barang siapa yang
menuliskan apa yang ia terima dariku selain al qur’an hendak lah ia
menghapusnya. Ceritakanlah apa yang kamu terima dariku dan itu tidak mengapa.
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki
rempat duduknya di neraka (HR.Muslim).
Hadist
tersebut di samping berisi anjuran agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga
memberi peringatan kepada para sahabat agar jangan meriwayat hadist palsu.
Sebagian menilai, adanya larangan ini untuk menghindarkan kemungkinan sebagian
sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al
qur’an. Namun alasan serupa ini di sangkal, karena jika demikian alasannya maka
berarti susunan kata-kata al qur’an sama dengan susunan kata-kata hadis, dan
ini dapat menghilangkan kemukjizatan al qur’an, sebagai Uslub yang memiliki perbedaan, keistimewaan, dan tidak dapat di
tiru oleh siapapun, termasuk oleh para nabi dan sahabatnya[7].
Selain
itu, hadis ini juga memberikan larangan kepada orang-orang yang tidak memiliki
pengetahuan tentang hadis dan orang-orang yang tidak bisa menghindarkan
terjadinya pencampuradukkan hadis dengan al’qur’an. Sedangkan bagi mereka yang
ahli atau memiliki pengetahuan tentang penulisan hadis mereka di bolehkan
menulisnya seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin amr bin ash[8].
Jadi,
Hadis diatas sangat melarang keras menulis sesuatu
dari rasulullah karena itu sangat membahayakan dan bisa bercampur dengan al
qur’an, rasulululah hanya memerintahkan para sahabatnya untuk menyebarkan hadis
melalui lisan saja, jangan sampai di bukukan.
Tapi disisi lain, banyak juga hadis rasululullah memperbolehkan penulisan
sunnah, diantaranya [9]:
1.
Dari abu
hurairah bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadis
rasulullah tapi tidak hapal, kemudian bertanya pada abu hurairah maka ia
memberitakannya. Kemudian ia mengadu pada rasulullah tentang hapalannya yang
minim tersebut, maka nabi bersabda :
اِسْتَعِنْ
عَلىَ حِفْظِكَ بِيَمِيْنِكَ
Artinya :
Bantulah hapalan mu dengan hapalanmu. (HR.Tarmizi)
2.
Dari abu
hurairah pada saat nabi menaklukkan mekkah, beliau berdiri dan berkhutbah, maka
berdirilah seorang laki-laki dari yaman bernama abu syah dan bertanya
:”tuliskan aku”? maka rasululah bersabda :
3. اُكْتُبُوْا لِأَ بِىْ شَاةْ وَفِيْ رِوَايَةً :
اُكْتُبُوْا لَهُ
Artinya :
Tuliskan
untuk abi syah ( HR.al bukhari dan abu dawud), dalam riwayat Imam Ahmad ; “
tuliskan dia”.[10]
4. Sabda beliau lagi yang menyatakan :
أَلا لِيُبَلِّغُ الشَّا هِدُ مِنْكُمْ الْغَائِب
Artinya :
“ketahuilah, hendak lah orang yang hadir
diantara kamu,
menyampaikan
kepada orang yang tidak hadir.” (H.R.Abd Al-Barr)
5.
Sabda beliau
lagi yang menyatakan :
بَلِغُوْا عَنِيْ وَلَوْ اَيَهً
Artinya :
“ Sampaikan dari pada ku, walaupun satu ayat”. (H.R
Al-Bukhari).[11]
Dalam
mencari solusi dua versi hadis yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat.
Diantara mereka berpendapat bahwa hadis yang melarang penulisan di hapus (di-nasakh)
dengan hadis yang memperbolehkannya. Hadis yang melarang penulisan hadis
terjadi pada awal islam dimana diantara sahabat yang mampu menulis belum begitu
banyak kira-kira dapat dihitung dengan jari, sementara sarana penulisan masih
sangat sederhana, maka sangat di khawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Sedangkan hadis yang
memperbolehkan penulisan hadis terjadi pada akhir kehidupan rasulullah yaitu
pada masa penaklukan mekkah (Fath Mekkah).
Ulama
lain lebih cendrung kompromi antara dua hadis yang kontra itu dengan melakukan Takhshish Al’-Amm. Maksud larangan dalam
hadis bagi orang yang kuat hapalannya, sedangkan kebolehannya bagi orang yang
kuat hapalannya seperti Abi Syah. Atau larangan bagi orang yang kurang ahli
dalam menulis di khawatirkan campur tulisannya dengan Al Qur’an misalnya ditulis dalam satu lembar. Sedangkan sahabat
yang tulisannya bagus dan tidak ada kekhawatiran tercampur dengan Al Qur’an seperti Abdullah Bin Amr Bin
Ash tidak di larang.[12]
Jadi,
larangan atau kebolehan bersifat kondisional dan bertujuan yang sama yaitu
memilihara kemurnian Al Qur’an.
Dengan demikian penulisan tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka
memilihara sunnah sebagai sumber Syari’ah
Islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati oleh para
ulama.
B.
Hadis pada Periode Sahabat
Setelah nabi muhammad saw wafat para sahabat
belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, karena banyak problem
yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya
peperangan sehingga banyak penghapal Al
Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama abu bakar dalam membukukan
Al Qur’an. Demikian juga kasus lain
kondisi orang-orang asing/non arab yang masuk islam yang tidak paham bahasa
arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara Al Qur’an Dan Hadis. Abu bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah tetapi
digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat
dipercaya.
Umar bin khattab pernah juga mencoba
dan menghimpun hadis tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu
bulan beliau berkata :
Sesungguhnya
aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum
kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan
meninggalkan kitab allah. Demi allah sesungguhnya aku tidak akan
mencampuradukkan kitab allah dengan sesuatu yang lain selamanya.
Kekhawatiran Umar Bin Al-Khattab dalam
membukukan hadis adalah tasyabbuh
menyerupai dengan ahli kitab yakni yahudi dan nasrani yang meninggalkan kitab
allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para
nabi mereka dalam kitab tuhan mereka. Umar khawatir umat islam meninggalkan Al Qur’an dan hanya membaca hadis. Jadi
abu bakar dan umar tidak melarang pengkodifikasian hadis tetapi melihat kondisi
pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Penyampaian periwayatan dilakukan
secara lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu ketika umat islam
benar-benar memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah diatas menerima hadis
dari orang perorang disertai syarat dan saksi yang menguatkan. Bahkan ali
menerimanya jika disertai disertai sumpah di samping saksi. Oleh karena itu,
pada masa Khulafa Ar-Rasyidin ini di
sebut sebagai masa pembatasan periwayatan ( Taqlil
Ar-Riwayah).
Ajaj Al-hathib-seorang ketua jurusan
dan guru besar hadis dan ilmunya di universitas damaskus-mengemukan setelah Al-Qur’an terkodifikasi pada masa abu
bakar dan terlebih pada masa Usman yang kemudian dikirim keberbagai penjuru
mereka mempelajari sunnah, Bermudzakarah,
dan menulisnya, bahkan mereka menganjur dan memperolehkan pengkodifikasiannya.
Demikian juga para sahabat lain yang semula melarang menulis sunnah akhirnya
memperbolehkannya dan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran Al Qur’an seperti Abdullah Bin
Mas’ud,Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin Ali,Mu’awiyah,Abdullah Bin Abbas, Abdullah
Bin Umar,Anas Bin Malik dan lain-lain.
Para sahabat memang berbeda dalam
banyak dan sedikitnya periwayatan, karena profesi mereka yang berbeda.[13]
Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai politikus praktis, ,peternak,
pedagang, berperang, dan lain sebagainya. Serta banyak juga mereka dalam bidang
keilmuwan.
Para sahabat dalam menerima hadis dari nabi muhammad saw. Berpegang pada
kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan
menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui
mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan nabi. Kemudian terekamlah lafal
dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang
nabi kerjakan, atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari
nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau
menghadiri majlis nabi.
Kemudian sahabat menghapal setiap
apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah
nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan pada orang lain secara hapalan
pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja
yang mencatat hadis yang didengarnya dari nabi muhammad saw.
Diantara sahabat yang paling banyak
menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa
hadis yang diriwayat kan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian
para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah adalah :[14]
1.
Abdullah Bin
Umar r.a meriwayatkan 2.630 hadis.
2.
Anas Bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3.
Aisyah
meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4.
Abdullah Bin
Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5.
Jabir Bin
Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6.
Abu Said
Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis ada beberapa alasan,
diantaranya karena lebih dahulu bersahabat dengan nabi seperti Abdullah Bin
Mas’ud, atau banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas Bin Malik, atau
banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seperti Aisyah, dan atau
karena ketekunannya dalam hadis seperti Abdullah Bin Umar, dan Abu Hurairah.[15]
Pada masa khalifah Usman, kebijaksanaannya tentang periwayatan hadis
tidak jauh berbeda dengan apa yang oleh kedua khalifah sebelumnya, hanya saja
langkah Usman tidak setegas langkah umar. Dalam suatu khutbahnya, Usman meminta
kepada para sahabat hadis yang mereka tidak pernah didengar pada zaman Abu
Bakar Dan Umar. Ini menunjukkan pengakuan Usman atas sikap ke-hati-hatian kedua
pendahulunya.
Pada masa khalifah Ali. secara umum,
Ali baru bersedia menerima riwayat hadis nabi setelah periwayatan hadis yang
bersangkutan diperkuat dengan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu
benar-benar berasal dari nabi. Hanya terhadap periwayatan yang benar-benar
dipercayainya lah, Ali tidak meminta periwayat hadis untuk bersumpah, misalnya
ketika beliau menerima riwayat Abu Bakar As-Siddiq. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali bukanlah
merupakan syarat mutlak bagi keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak
perlu apabila orang-orang yang menyampaikannya benar-benar yakin bahwa ia tidak
mungkin keliru.
Di lihat dari kebijaksanaan dan kehati-hatian
dalam kegiatan periwayatan hadis, masa khalifah Ali Bin Abi Thalib sama dengan
masa sebelumnya. Akan tetapi situasi umat islam pada masa Ali telah berbeda
dari situasi sebelumnya. Pada masa ali, pertentangan politik dikalangan umat
islam semakin meluas, peperangan antara kelompok pendukung ali dengan pendukung
Mu’awiyah sering terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang
periwayatan hadis, yakni timbulnya pemalsuan-pemalsuan hadis.
C.
Hadis
pada Periode Tabi’in
Sebagaimana pada masa
sahabat, pada masa Tabi’in juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan
periwayatan hadis. Meskipun keadaan mereka tidak seberat seperti keadaan yang
dialami oleh para sahabat, yang mana pada masa ini, Al Qur’an sudah dikumpulkan pada satu mushaf sehingga tidak ada
lagi kekhawatiran akan bercampur dengan hadis nabi.[16]
Selain itu pada periode Al-Khulafa
Al-Rasyidin, para sahabat yang mengetahui dan banyak menghapal hadis telah
banyak menyebar kebeberapa wilayah yang dikuasai islam. Ini menimbulkan
kemudahan bagi para Tabi’in untuk
mempelajari hadis dri mereka.
Dan pada masa inilah di sebut dengan
masa pengkodifikasian hadis (al-jami’u wa
at tadwin). Khalifah Umar Bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada
akhir abad ke I Menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadis,
Karena, pertama beliau khawatir lenyapnya ajaran nabi setelah wafatnya para
ulama baik dikalangan sahabat maupun Tabi’in dimedan perang. Kedua, ia khawatir
akan tercampurnya hadis-hadis yang
shahih dan yang palsu. Disisi lain, dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan
islam, sementara kemampuan para Tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak
sama, maka jelas usaha kodifikasi ini sangat di butuhkan.[17] maka
pada awal abad ke II H,beliau intruksikan kepada seluruh gubernur madinah
diwilayah islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
اُنْظُرُوْا حَدِيْثَ رَسُوْلِ للهِ صَلىَّ الله
عَلَيْهِ وَسَلََّمَ فَأَ جْمِعُوْهُ
Artinya
: lihatlah hadis Rasulullah dan himpunlah dia.
Demikian surat
khilafah yang dikirim kepada Ibn Hazm (w.117 H) :
اُكْتُبُ
اِلَيَّ بِمَا يَسْبِتُ عِنْدَكَ مِنَ الْحَدِيْثِ عَنْ رَسُوْلِ لله صَلىَّ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاِنِّيْ خَشِيْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمَ وَذَ هَابَ
الْعُلَمَاءِ
Tulislah kepadaku apa yang
tetapkepadamu dari pada hadis rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya
ilmu dan wafatnya para ulama.
Tidak diketahui secara pasti siapa
diantara ulama yang lebih dahulu melaksanakan instruksi khalifah tersebut.
Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhammad Bin Amr Bin Hazm sebagaimana
bunyi teks di atas. Pendapat lain mengatakan Ar-Rabi’ Bin Shahih, Sa’id Bin
Arubah, dan Muhammad Bin Muslim Bin Asy-Syihab Az-zuhri. Namun pendapat yang
paling populer Muhammad Bin Muslim Bin Asy-Syihab Az-zuhri sedangkan Ibn Hazm
hanya menyampaikan amanah khalifah keseluruh negeri kekuasan dan belum
melakukan kodifikasi. Az-zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan
tugas pengodofikasian hadis Dari khalifah umar bin abdul aziz. dengan
ungkapannya :
Kami
diperintahkan khalifah umar bin abdul aziz untuk menghimpun sunnah, kami telah
melaksanakannya dari buku kebuku, kemudian dikirim disetiap wilayah kekuasan
sultan satu buku.[18]
Berdasarkan inilah para ahli sejarah
dan ulama berkesimpulan bahwa Ibn As-Syihab Az-zuhri orang pertama yang
mengkodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H di bawah khalifah Umar Bin Abdul
Aziz.
Kemudian aktivitas penghimpunan dan
pengkodofikasian hadis tersebar diberbagai negeri islam pada abad ke 2 H
diantara nya adalah Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Juraij (w.150 H) dimekah, Ibnu Ishak (w.151 H) Dimekkah, Abdurrahman
Abu Amar Al-Auza’i (w.156 H) di syria, Sufyan Ats-Tsauri (w.161 H) di Kuffah, Imam
Malik Ibn Anas (w.179 H) di Madinah, Ar-Rabi’i Bin Shabih (w.160 H) di basrah
dan lain-lain.
Penghimpunan hadis pada abad ini
masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan
pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf)
atau shahifah-shahifah (lembaran-lembaran)
yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib
pada masa ini sudah di himpun perbab. Materi hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat
sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat
atau tabi’in.
Di antara buku-buku yang muncul pada
masa ini adalah :
1. Al-muwaththa’ yang
ditulis oleh Imam Malik.
2. Al-mushannaf
oleh Abdul Razzaq Bin Hammam Ash-Shan’ani
3. As-shunnah
ditulis oleh Abd Bin Manshur.
4. Al-mushannaf
di himpun oleh Abu Bakar Bin Syayhah, dan
5. Musnad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadis pada
masa ini tidak sampai kepada kita kecuali diantaranya al-muwaththa’ yang ditulis oleh imam malik dan musnad asy-syafi’I ditulis oleh imam asy-syafi’i.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa kenabian, jumlah hadis yang ditulis oleh para sahabat sangat
sedikit, karena mereka telah menekankan pada penghapalan dan penulisan
ayat-ayat al’qur’an yang telah diwahyukan kepada nabi.di masa-masa awal nabi
sendiri
Bahkan melarang para sahabat untuk menulis hadis.
Namun beliau mengizinkan menulis hadis kepada beberapa orang sahabat tertentu yang
memeliki kecakapan dalam hal ini, seperti abdullah ibn amr ibn ash.
Upaya
pengetatan juga dilakukan oleh para Al-Khulafa’al-Rasyidin,
karena kekhawatiran bercampur dengan Al
Qur’an Dan Hadis. Kemudian pada masa Tabi’in pengetatan masih berlangsung, meski
sudah dikendurkan karena faktor kekhawatiran itu sudah tidak ada lagi,
mengingat Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushaf pada zaman Usman Bin
Affan. Masih adanya pengetatan ini di sebabkan karena adanya kekhawatiran lain,
yakni kemungkinan bercampurnya hadis dengan pendapat-pendapat pribadi, jika
penulisan hadis ini di longgarkan.
Namun,
pada awal abad ke II H, ketika kekhawatiran tersebut tidak ada lagi, banyak
dari para Tabi’in yang memerintah muridnya untuk menulis hadis. Dan pada masa
ini pula khalifah Umar Bin Abdul Aziz secara resmi memerintahkan pembukuan
hadis, melalui surat yang dikirimkan kepada gubernur madinah Abu Bakar Bin
Muhammad Bin Amr Bin Hazm dan kepada gubernur-gubernur lainnya. Perintah ini
dilakukan karena Kekhawatirannya akan semakin berkurangnya jumlah ahli hadis.
Orang yang pertama kali menyambut khalifah ini adalah Muhammad Ibn Muslim Ibn
Syihab Al-zuhri (w.124 H ).
B. Kritik dan
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, semua ini dikarenakan kemampuan
penulis yang terbatas. Walaupun
demikian penulis berharap mudah-mudahan makalah ini ada manfaatnya Khususnya
untuk keberhasilan dan kemajuan dalam bidang berdakwah
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil sehingga
makalah ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan. Mudah-mudahan
amal kebaikan kita dapat digantikan dengan pahala yang berlipat ganda.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Muhammad dkk, 2000, Ulumul Hadis (Untuk
Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung : CV Pustaka Setia.
Ali
Fayyad, Mahmud, 1998, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, Bandung, CV
Pustaka Setia.
Ismail,
M.Syuhudi, 2005, Kaidah Keshahihan
Sanad Hadis, Jakarta : PT Bulan Bintang.
Majis
Khon, H.Abdul, M.Ag, 2009, Ulumul Hadist,
Jakarta : Amzah.
Nata,
Abuddin, MA dkk, 2005, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum PT.Raja
Grafindo Persada.
, 2000, Alqur’an
Dan Hadist ( Dirasah Islamiyah I), Jakarta : PT Grafindo Persada.
Sulaiman
PL, M.Noor, 2010, Antologi Ilmu Hadis,
Jakarta : Gaung Persada Press Komplek
Kejaksaan Agung Blok EI No.3 Cipayung.
[1] .DR.M.Syuhudi
Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis (Cetakan Ke-3, Jakarta : PT Bulan
Bintang. 2005). Hal.36-37.
[2]
.Dr.Abuddin
Nata.M.A, Alqur’an Dan Hadist ( Dirasah Islamiyah I), (Cetakan
Ke-7.,Jakarta : PT Grafindo Persada. 2000), Hal.194.
[3]
. Prof. Dr.Abuddin Nata, MA dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu
Umum ( PT.Raja Garfindo Persada, 2005) Hal.23.
[5]
. Dr.H.Abdul Majis Khon, M.Ag, Ulumul
Hadist, (Cet.Ke 2, Jakarta,Amzah 2009), Hal. 43-44
[8]
. Dr. Mahmud ali fayyad, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis
( Bandung, CV Pustaka Setia 1998). Hal.28.
[11]
. Prof.H.M.Noor
Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis,
(Jakarta, Gaung Persada Press Komplek
Kejaksaan Agung Blok EI No.3 Cipayung), Hal.45.
[14]
. Drs.H.Muhammad Ahmad, Drs.M.Mudzakir, Ulumul
Hadis (Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK), (Bandung, CV Pustaka Setia),
Hal. 31-32.
[16]
. Prof.H.M.Noor
Sulaiman PL, Op, Cit,.Hal.66-67.
[17]
. Ibid,.Hal.72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar