Sabtu, 12 Mei 2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Berbagai hadis nabi yang termaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda,perbuatan dan taqrir, dan atau hal ihwal nabi. Apa yang disaksikan oleh sahabat lalu di sampaikannya kepada orang lain. Orang lain yang menerima hadis riwayat hadis itu mungkin berstatus sahabat,tabi’in dan seterusnya.[1]
Dalam perkembangan dan pertumbuhan hadis itu terdapat berbagai cara,ada yang mengemukankannya dengan cara menghubungkan dengan masa kehidupan masa rasulullah, para sahabat, dan tabi’in. ada pula yang membaginya dengan cara mengemukakan berbagai kegiatan yang berkenaan dengan hadits.[2]

B.  Rumusan Masalah
1.      Hadis pada periode nabi.
2.      Hadis para periode sahabat dan tabi’in.

C.  Tujuan
Dengan mengetahui sejarah pramodifikasi hadis ini, kita lebih tahu banyak mengenai perkembangan hadis pada masa rasulullah, sahabat dan tabi’in. dengan itu kita bisa mengetahui perjuangan para sahabat rasulullah dalam mengahapal dan meriwayatkan hadis sehingga sampai kepada kita sekarang ini.




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hadis pada Periode Nabi
Pada masa kenabian, jumlah hadis yang ditulis oleh para sahabat sangat sedikit, karena mereka telah menekankan pada penghapalan dan penulisan ayat-ayat Al Qur’an yang telah diwahyukan kepada nabi. Dimasa-masa awal nabi sendiri Bahkan melarang para sahabat untuk menulis hadis. Namun beliau mengizinkan menulis hadis kepada beberapa orang sahabat tertentu yang memeliki kecakapan dalam hal ini, seperti abdullah ibn amr ibn ash[3].
            Hadis yang di terima oleh para sahabat cepat tersebar dimasyarakat. Karena, para sahabat umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Dengan demikian para sahabat nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui nabi,  mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan nabi. Disamping itu, kebijaksanaan nabi dalam mengutus para sahabat keberbagai daerah, baik untuk untuk tugas khusus dakwah maupun untuk memanggu jabatan, tidak kecil peranannya dalam penyebaran hadis[4]. Jadi, Perhatian sahabat terhadap hadis nabi sangat tinggi terutama diberbagai majlis nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti Dimesjid, Khalaqah ilmu dan diberbagai tempat yang di janjikan oleh rasulullah.
Menurut Ahmad Umar Hasyim (Ulama Azhar Mesir) paling tidak ada tiga faktor penyebab perhatian para sahabat terhadap hadis atau sunnah rasul yaitu sebagai berikut :[5]
1.        Nabi sebagai panutan yang baik ( Uswah Hasanah) bagi umatnya sebagaimana di jelaskan dalam surah al-ahzab (33), 21.:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#u
tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ
Artinya :
                        Sesungguhnya telah ada pada diri rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) orang yang mengharapkan (rahmat) allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut allah.
2.        Kandungan beberapa ayat al qur’an dan hadis rasulullah yang menganjurkan mereka menuntut ilmu dan mengamalkannya sebagaimana surah al’alaq (96) yang turun pertama kali ayat 1-5.
3.        Kesiapan mereka secara fitrah arab yang memililki ingatan yang kuat untuk mengingat segala hal yang terjadi pada rasulullah.

Di masa rasulullah masih hidup, hadist belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al qur’an. Para sahabat terutama yang mempunyai kecakapan dalam menulis selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al qur’an di atas benda-benda yang dapat ditulisi. Perlakuan serupa tidak diberikan pada hadits. Para sahabat menyampaikan sesuatu yang diperoleh dari panca inderanya dari nabi muhammad saw dengan lisan belaka, karena hal ini di lakukan berdasarkan petunjuk dari nabi, melalui sabda nya :[6]
لاَ تَكْتُبُوْا عَنىِّ شَيْئاً اِلاَّ الْقُرْاَنَ, وَمَنْ كَتَبَ عَنىِّ شَئْاً غَيْرَ الْقُرْاَنِ, فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّ ثُوْا عَنىِّ وَلاَ خَرَجَ, وَمَنْ كَذَّبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya :
            Janganlah kamu tulis apa yang telah kamu terima dariku selain al qur’an, barang siapa yang menuliskan apa yang ia terima dariku selain al qur’an hendak lah ia menghapusnya. Ceritakanlah apa yang kamu terima dariku dan itu tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki rempat duduknya di neraka (HR.Muslim).
            Hadist tersebut di samping berisi anjuran agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga memberi peringatan kepada para sahabat agar jangan meriwayat hadist palsu. Sebagian menilai, adanya larangan ini untuk menghindarkan kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al qur’an. Namun alasan serupa ini di sangkal, karena jika demikian alasannya maka berarti susunan kata-kata al qur’an sama dengan susunan kata-kata hadis, dan ini dapat menghilangkan kemukjizatan al qur’an, sebagai Uslub yang memiliki perbedaan, keistimewaan, dan tidak dapat di tiru oleh siapapun, termasuk oleh para nabi dan sahabatnya[7].
            Selain itu, hadis ini juga memberikan larangan kepada orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang hadis dan orang-orang yang tidak bisa menghindarkan terjadinya pencampuradukkan hadis dengan al’qur’an. Sedangkan bagi mereka yang ahli atau memiliki pengetahuan tentang penulisan hadis mereka di bolehkan menulisnya seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin amr bin ash[8].
  Jadi, Hadis diatas sangat melarang keras menulis sesuatu dari rasulullah karena itu sangat membahayakan dan bisa bercampur dengan al qur’an, rasulululah hanya memerintahkan para sahabatnya untuk menyebarkan hadis melalui lisan saja, jangan sampai di bukukan.
Tapi disisi lain, banyak juga hadis rasululullah memperbolehkan penulisan sunnah, diantaranya [9]:  
1.        Dari abu hurairah bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadis rasulullah tapi tidak hapal, kemudian bertanya pada abu hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu pada rasulullah tentang hapalannya yang minim tersebut, maka nabi bersabda :
اِسْتَعِنْ عَلىَ حِفْظِكَ بِيَمِيْنِكَ

Artinya :
Bantulah hapalan mu dengan hapalanmu. (HR.Tarmizi)
2.        Dari abu hurairah pada saat nabi menaklukkan mekkah, beliau berdiri dan berkhutbah, maka berdirilah seorang laki-laki dari yaman bernama abu syah dan bertanya :”tuliskan aku”? maka rasululah bersabda :
3.  اُكْتُبُوْا لِأَ بِىْ شَاةْ وَفِيْ رِوَايَةً : اُكْتُبُوْا لَهُ
Artinya :
                        Tuliskan untuk abi syah ( HR.al bukhari dan abu dawud), dalam riwayat Imam Ahmad ; “ tuliskan dia”.[10]
4.  Sabda beliau lagi yang menyatakan :
أَلا لِيُبَلِّغُ الشَّا هِدُ مِنْكُمْ الْغَائِب
Artinya :
 “ketahuilah, hendak lah orang yang hadir diantara kamu,
menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.” (H.R.Abd Al-Barr)
5.        Sabda beliau lagi yang menyatakan :
بَلِغُوْا عَنِيْ وَلَوْ اَيَهً
Artinya :
                 “ Sampaikan dari pada ku, walaupun satu ayat”. (H.R Al-Bukhari).[11]

            Dalam mencari solusi dua versi hadis yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka berpendapat bahwa hadis yang melarang penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadis yang memperbolehkannya. Hadis yang melarang penulisan hadis terjadi pada awal islam dimana diantara sahabat yang mampu menulis belum begitu banyak kira-kira dapat dihitung dengan jari, sementara sarana penulisan masih sangat sederhana, maka sangat di khawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Sedangkan hadis yang memperbolehkan penulisan hadis terjadi pada akhir kehidupan rasulullah yaitu pada masa penaklukan mekkah (Fath Mekkah).
            Ulama lain lebih cendrung kompromi antara dua hadis yang kontra itu dengan melakukan Takhshish Al’-Amm. Maksud larangan dalam hadis bagi orang yang kuat hapalannya, sedangkan kebolehannya bagi orang yang kuat hapalannya seperti Abi Syah. Atau larangan bagi orang yang kurang ahli dalam menulis di khawatirkan campur tulisannya dengan Al Qur’an misalnya ditulis dalam satu lembar. Sedangkan sahabat yang tulisannya bagus dan tidak ada kekhawatiran tercampur dengan Al Qur’an seperti Abdullah Bin Amr Bin Ash tidak di larang.[12]
            Jadi, larangan atau kebolehan bersifat kondisional dan bertujuan yang sama yaitu memilihara kemurnian Al Qur’an. Dengan demikian penulisan tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka memilihara sunnah sebagai sumber Syari’ah Islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati oleh para ulama.

B.       Hadis pada Periode Sahabat
            Setelah nabi muhammad saw wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, karena banyak problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghapal Al Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama abu bakar dalam membukukan Al Qur’an. Demikian juga kasus lain kondisi orang-orang asing/non arab yang masuk islam yang tidak paham bahasa arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara Al Qur’an Dan Hadis. Abu bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
            Umar bin khattab pernah juga mencoba dan menghimpun hadis tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata :
            Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab allah. Demi allah sesungguhnya aku tidak akan mencampuradukkan kitab allah dengan sesuatu yang lain selamanya.
            Kekhawatiran Umar Bin Al-Khattab dalam membukukan hadis adalah tasyabbuh menyerupai dengan ahli kitab yakni yahudi dan nasrani yang meninggalkan kitab allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para nabi mereka dalam kitab tuhan mereka. Umar khawatir umat islam meninggalkan Al Qur’an dan hanya membaca hadis. Jadi abu bakar dan umar tidak melarang pengkodifikasian hadis tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
            Penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu ketika umat islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah diatas menerima hadis dari orang perorang disertai syarat dan saksi yang menguatkan. Bahkan ali menerimanya jika disertai disertai sumpah di samping saksi. Oleh karena itu, pada masa Khulafa Ar-Rasyidin ini di sebut sebagai masa pembatasan periwayatan ( Taqlil Ar-Riwayah).
            Ajaj Al-hathib-seorang ketua jurusan dan guru besar hadis dan ilmunya di universitas damaskus-mengemukan setelah Al-Qur’an terkodifikasi pada masa abu bakar dan terlebih pada masa Usman yang kemudian dikirim keberbagai penjuru mereka mempelajari sunnah, Bermudzakarah, dan menulisnya, bahkan mereka menganjur dan memperolehkan pengkodifikasiannya. Demikian juga para sahabat lain yang semula melarang menulis sunnah akhirnya memperbolehkannya dan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran Al Qur’an seperti Abdullah Bin Mas’ud,Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin Ali,Mu’awiyah,Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Umar,Anas Bin Malik dan lain-lain.
            Para sahabat memang berbeda dalam banyak dan sedikitnya periwayatan, karena profesi mereka yang berbeda.[13] Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai politikus praktis, ,peternak, pedagang, berperang, dan lain sebagainya. Serta banyak juga mereka dalam bidang keilmuwan.    
Para sahabat dalam menerima hadis dari nabi muhammad saw. Berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang nabi kerjakan, atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majlis nabi.
            Kemudian sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan pada orang lain secara hapalan pula.
            Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari nabi muhammad saw.
            Diantara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayat kan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah adalah :[14]
1.      Abdullah Bin Umar r.a meriwayatkan 2.630 hadis.
2.       Anas Bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3.      Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4.      Abdullah Bin Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5.      Jabir Bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6.      Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis ada beberapa alasan, diantaranya karena lebih dahulu bersahabat dengan nabi seperti Abdullah Bin Mas’ud, atau banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas Bin Malik, atau banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seperti Aisyah, dan atau karena ketekunannya dalam hadis seperti Abdullah Bin Umar, dan Abu Hurairah.[15]                                                                                                                            
Pada masa khalifah Usman, kebijaksanaannya tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang oleh kedua khalifah sebelumnya, hanya saja langkah Usman tidak setegas langkah umar. Dalam suatu khutbahnya, Usman meminta kepada para sahabat hadis yang mereka tidak pernah didengar pada zaman Abu Bakar Dan Umar. Ini menunjukkan pengakuan Usman atas sikap ke-hati-hatian kedua pendahulunya.
            Pada masa khalifah Ali. secara umum, Ali baru bersedia menerima riwayat hadis nabi setelah periwayatan hadis yang bersangkutan diperkuat dengan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari nabi. Hanya terhadap periwayatan yang benar-benar dipercayainya lah, Ali tidak meminta periwayat hadis untuk bersumpah, misalnya ketika beliau menerima riwayat Abu Bakar As-Siddiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali bukanlah merupakan syarat mutlak bagi keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang-orang yang menyampaikannya benar-benar yakin bahwa ia tidak mungkin keliru.
            Di lihat dari kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadis, masa khalifah Ali Bin Abi Thalib sama dengan masa sebelumnya. Akan tetapi situasi umat islam pada masa Ali telah berbeda dari situasi sebelumnya. Pada masa ali, pertentangan politik dikalangan umat islam semakin meluas, peperangan antara kelompok pendukung ali dengan pendukung Mu’awiyah sering terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang periwayatan hadis, yakni timbulnya pemalsuan-pemalsuan hadis.

C.      Hadis pada Periode Tabi’in
Sebagaimana pada masa sahabat, pada masa Tabi’in juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan periwayatan hadis. Meskipun keadaan mereka tidak seberat seperti keadaan yang dialami oleh para sahabat, yang mana pada masa ini, Al Qur’an sudah dikumpulkan pada satu mushaf sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bercampur dengan hadis nabi.[16] Selain itu pada periode Al-Khulafa Al-Rasyidin, para sahabat yang mengetahui dan banyak menghapal hadis telah banyak menyebar kebeberapa wilayah yang dikuasai islam. Ini menimbulkan kemudahan bagi para Tabi’in untuk mempelajari hadis dri mereka.
            Dan pada masa inilah di sebut dengan masa pengkodifikasian hadis (al-jami’u wa at tadwin). Khalifah Umar Bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad ke I Menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadis, Karena, pertama beliau khawatir lenyapnya ajaran nabi setelah wafatnya para ulama baik dikalangan sahabat maupun Tabi’in dimedan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya hadis-hadis yang shahih dan yang palsu. Disisi lain, dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para Tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, maka jelas usaha kodifikasi ini sangat di butuhkan.[17] maka pada awal abad ke II H,beliau intruksikan kepada seluruh gubernur madinah diwilayah islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
اُنْظُرُوْا حَدِيْثَ رَسُوْلِ للهِ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلََّمَ فَأَ جْمِعُوْهُ
            Artinya : lihatlah hadis Rasulullah dan himpunlah dia.
Demikian surat khilafah yang dikirim kepada Ibn Hazm (w.117 H) :
اُكْتُبُ اِلَيَّ بِمَا يَسْبِتُ عِنْدَكَ مِنَ الْحَدِيْثِ عَنْ رَسُوْلِ لله صَلىَّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاِنِّيْ خَشِيْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمَ وَذَ هَابَ الْعُلَمَاءِ
Tulislah kepadaku apa yang tetapkepadamu dari pada hadis rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.
            Tidak diketahui secara pasti siapa diantara ulama yang lebih dahulu melaksanakan instruksi khalifah tersebut. Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhammad Bin Amr Bin Hazm sebagaimana bunyi teks di atas. Pendapat lain mengatakan Ar-Rabi’ Bin Shahih, Sa’id Bin Arubah, dan Muhammad Bin Muslim Bin Asy-Syihab Az-zuhri. Namun pendapat yang paling populer Muhammad Bin Muslim Bin Asy-Syihab Az-zuhri sedangkan Ibn Hazm hanya menyampaikan amanah khalifah keseluruh negeri kekuasan dan belum melakukan kodifikasi. Az-zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengodofikasian hadis Dari khalifah umar bin abdul aziz. dengan ungkapannya :
            Kami diperintahkan khalifah umar bin abdul aziz untuk menghimpun sunnah, kami telah melaksanakannya dari buku kebuku, kemudian dikirim disetiap wilayah kekuasan sultan satu buku.[18]
            Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Ibn As-Syihab Az-zuhri orang pertama yang mengkodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H di bawah khalifah Umar Bin Abdul Aziz.
            Kemudian aktivitas penghimpunan dan pengkodofikasian hadis tersebar diberbagai negeri islam pada abad ke 2 H diantara nya adalah Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Juraij (w.150 H)  dimekah, Ibnu Ishak (w.151 H) Dimekkah, Abdurrahman Abu Amar Al-Auza’i (w.156 H) di syria, Sufyan Ats-Tsauri (w.161 H) di Kuffah, Imam Malik Ibn Anas (w.179 H) di Madinah, Ar-Rabi’i Bin Shabih (w.160 H) di basrah dan lain-lain.
            Penghimpunan hadis pada abad ini masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf)  atau shahifah-shahifah (lembaran-lembaran) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib pada masa ini sudah di himpun perbab. Materi hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat atau tabi’in.
            Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah :
1.      Al-muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik.
2.      Al-mushannaf oleh Abdul Razzaq Bin Hammam Ash-Shan’ani
3.      As-shunnah ditulis oleh Abd Bin Manshur.
4.      Al-mushannaf di himpun oleh Abu Bakar Bin Syayhah, dan
5.      Musnad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadis pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali diantaranya al-muwaththa’ yang ditulis oleh imam malik dan musnad asy-syafi’I ditulis oleh imam asy-syafi’i.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pada masa kenabian, jumlah hadis yang ditulis oleh para sahabat sangat sedikit, karena mereka telah menekankan pada penghapalan dan penulisan ayat-ayat al’qur’an yang telah diwahyukan kepada nabi.di masa-masa awal nabi sendiri
Bahkan melarang para sahabat untuk menulis hadis. Namun beliau mengizinkan menulis hadis kepada beberapa orang sahabat tertentu yang memeliki kecakapan dalam hal ini, seperti abdullah ibn amr ibn ash.
            Upaya pengetatan juga dilakukan oleh para Al-Khulafa’al-Rasyidin, karena kekhawatiran bercampur dengan Al Qur’an Dan Hadis. Kemudian pada masa Tabi’in pengetatan masih berlangsung, meski sudah dikendurkan karena faktor kekhawatiran itu sudah tidak ada lagi, mengingat Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushaf pada zaman Usman Bin Affan. Masih adanya pengetatan ini di sebabkan karena adanya kekhawatiran lain, yakni kemungkinan bercampurnya hadis dengan pendapat-pendapat pribadi, jika penulisan hadis ini di longgarkan.
            Namun, pada awal abad ke II H, ketika kekhawatiran tersebut tidak ada lagi, banyak dari para Tabi’in yang memerintah muridnya untuk menulis hadis. Dan pada masa ini pula khalifah Umar Bin Abdul Aziz secara resmi memerintahkan pembukuan hadis, melalui surat yang dikirimkan kepada gubernur madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm dan kepada gubernur-gubernur lainnya. Perintah ini dilakukan karena Kekhawatirannya akan semakin berkurangnya jumlah ahli hadis. Orang yang pertama kali menyambut khalifah ini adalah Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Al-zuhri (w.124 H ).

B.  Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, semua ini dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Walaupun demikian penulis berharap mudah-mudahan makalah ini ada manfaatnya Khususnya untuk keberhasilan dan kemajuan dalam bidang berdakwah
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil sehingga makalah ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan. Mudah-mudahan amal kebaikan kita dapat digantikan dengan pahala yang berlipat ganda.



























DAFTAR PUSTAKA      
            
Ahmad, Muhammad dkk, 2000, Ulumul Hadis (Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung : CV Pustaka Setia.

Ali Fayyad, Mahmud, 1998, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, Bandung, CV Pustaka Setia.
Ismail, M.Syuhudi, 2005,  Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Jakarta : PT Bulan Bintang.

Majis Khon, H.Abdul, M.Ag, 2009, Ulumul Hadist, Jakarta : Amzah.

Nata, Abuddin, MA dkk, 2005, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum PT.Raja Grafindo Persada.

                                  , 2000, Alqur’an Dan Hadist ( Dirasah Islamiyah I), Jakarta : PT Grafindo Persada.

Sulaiman PL, M.Noor, 2010, Antologi Ilmu Hadis, Jakarta : Gaung Persada Press  Komplek Kejaksaan Agung Blok EI No.3 Cipayung.


[1] .DR.M.Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis (Cetakan Ke-3, Jakarta : PT Bulan Bintang. 2005). Hal.36-37.
[2] .Dr.Abuddin Nata.M.A, Alqur’an Dan Hadist ( Dirasah Islamiyah I), (Cetakan Ke-7.,Jakarta : PT Grafindo Persada. 2000), Hal.194.
[3] . Prof. Dr.Abuddin Nata, MA dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ( PT.Raja Garfindo Persada, 2005)  Hal.23.
[4] . DR.M.Syuhudi Ismail Op,.Cit,. hal.37-39.
[5] . Dr.H.Abdul Majis Khon, M.Ag, Ulumul Hadist, (Cet.Ke 2, Jakarta,Amzah 2009), Hal. 43-44
[6] . Dr.Abuddin Nata.M.A, Op, Cit,. Hal.194-195.
[7] . Ibid,. Hal.195-196.
[8] . Dr. Mahmud ali fayyad, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis ( Bandung, CV Pustaka Setia 1998). Hal.28.                                                                    
[9] . Dr.H.Abdul Majis Khon, M.Ag,.Op, Cit,. Hal.45
[10] . Ibid. Hal.46
[11] . Prof.H.M.Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta, Gaung Persada Press  Komplek Kejaksaan Agung Blok EI No.3 Cipayung), Hal.45.
[12] . Dr.H.Abdul Majis Khon, M.Ag,.Op, Cit,. Hal.46.
[13] . Ibid,. Hal.49
[14] . Drs.H.Muhammad Ahmad, Drs.M.Mudzakir, Ulumul Hadis (Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK), (Bandung, CV Pustaka Setia), Hal. 31-32.
[15] . . Dr.H.Abdul Majis Khon, M.Ag,.Op, Cit,. Hal.49
[16] . Prof.H.M.Noor Sulaiman PL, Op, Cit,.Hal.66-67.
[17] . Ibid,.Hal.72.
[18] . Dr.H.Abdul Majis Khon, M.Ag,.Op, Cit,. Hal.53-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar